MAKALAH
PEMBAGIAN HUKUM SYARAK
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Fiqih
Disusun oLeh:
KELOMPOK V
Tanabe
Karena
Tika
Anastasia Rossemi
Tubagus
Zulfikar
Wacih
Nursanih
Winda
Khoerunnisa
Wahyu
Tri Wulan Asih
MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN)
BATUJAYA
KARAWANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas perkenan-nya, penyusunan
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Dan tidak lupa kepada bapak guru
pengajar dalam pelajaran FIQIH, yakni Pak AHMAD, S.Ag yang telah membimbing
kami dalam pembuatan makalah ini.
Sholawat
serta salam senantiasa kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW atas
keringat beliau, kita dapat berkumpul dalam diskusi pada pertemuan kali ini
dalam pelajaran yang sama.
Makalah
ini disusun atas dasar tugas yang Bapak Guru berikan kepada kami dan
Alhamdulillah kami dapat menyelesaiakan makalah ini dengan tepat waktu. Apabila
ada kesalahan pada tulisan atau kata-kata yang kurang enak untuk di dengar kami
mohon maaf sebesar-besarnya.
Batujaya,
15 Oktober 2015
Hormat kami
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................................... ii
BAB
I
HUKUM
SYARA’
I.
PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan
manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari’at,
baik hukum syari’at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang
tidak tercantuk pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang
diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakana Imam Ghazali, bahwa mengetahui
hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh meninjau
hukum syara’ dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakti ketetapan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan oaring-orang mukallaf, baik berupa Igtidha
(tuntutan perintah dan larangan), Takhyir (pilihan), maupun berupa Wadhi (sebab
akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di
berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal,
syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada
makalah ini yang kesemuanya itu merupan objek pembahasan ilmu Ushul Fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami
akan mencoba membahas tentang hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini
dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul
Fiqh.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian
hukum syar’i
2. Macam-macam
hukum syar’i
3. Pembagian
macam-macam hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Syar’i
Secara etimologi kata hukum
(al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminology Ushul Fiqh,
hukum (al-hukm) berarti “khitab” (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan
orang mukalaf, baik berupa iqtidla
(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf
untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
mani [penghalang]).
Menurut istilah ahli fiqh,
yang disebut hukum khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’,
maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang
dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan
akhlaq.
Bila dicermati dari definisi
diatas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat
dikategorikan dalam beberapa macam;
a. Perintah
untuk melakukan suatu perbuatan mukallaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b. Larangan
melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang di larang itusifatnya haram.
c. Anjuran
untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan
itu sifatnya mandub.
d. Anjuran
untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk
ditinggallkan itu sifatya makruh.
e. Memberi
kebebasan untuk memilih antara melakukan atai tidak melakukan, dan perbuatan
yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f. Menetapkan
sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan
sesuatu sebagai syarat
h. Menetapkan
sesuatu sebagai mani’ (penghalang)
i. Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/ batal
j. Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.
1.
Macam-macam
Hukum
Secara garis besar ulama
ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu :
a. Hukum
Taklifi
b. Hukum
Wadh’i
Hukum
taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan
Rasul-nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf, baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan atau
dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan
yang dimaksud dengan hukum wadh’I adalah : ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan
mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat diketahui perbedaan
antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut :
a. Hukum
taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan
terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’I berupa penjelasan hubungan
suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa
sholat wajib dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’I menjelaskan bahwa waktu
matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat zuhur.
b. Hukum
taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang
mukalaf. Sedangkan hukum wadh’I sebagaimana ada yang diluar kemampuan manusia
dan bukan merupakan aktifitas manusia.
2.
Pembagian Macam-macam Hukum
A.
Hukum
Taklifi
Hukum
Taklifi dibagi menjadi lima :
1) Al-Ijab
(kewajiban)
2) An-Nadb
(kesunnahan)
3) At-tahrim
(keharaman)
4) Al-karahan
( kemakmuran)
5) Al-Ibahan
(kebolehan)
a.
Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap
atau pasti. Secara terminology, seperti yang ditemukan abd. Al-karim Zaidan,
ahli hukum Islam Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan mendapat pahala dari
Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi
menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi
dua macam yaitu :
·
Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan
kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali.
Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Nisalnya,
kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
·
Wajib Kifayah, yaitu kewajiban yang
dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh
sebagian umat Islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang
yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya
kewajiban sholat Jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah,
hukum wajib dapat dibagi kepada beberapa macam :
§ Wajib
Mu’ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara
khusus (tidak ada pilihan lain). Misalnya, shalat lima waktu, puasa Ramadhan,
membayar zakat.
§ Wajib
Mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang dimana yang menjadi objeknya boleh
dipilih antara beberapa alternative. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat
(denda melanggar).
§ Wajib
Mu’aqqat, yaitu sesuatu yang di tuntut syar’I untuk dilakukan secara pasti
tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang
mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam :
§ Wajib
Muhaddad, yaitu kewajiban yang syar’I telah ditentukan ukurannya, seperti
zakat.
§ Wajib
Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’I tidak ditentukan ukurannya,
seperti bersodaqoh, infaq.
b.
Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu
yang dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak
mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidan, mandub terbagi menjadi tingkatan :
·
Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), yaitu
perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya, misalnya
shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
·
Sunnah Ghoir Muakadah (sunnah biasa), yaitu
sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya :
melakukan shalat sunnah dua kali du rakaat sebelum shalat dhuhur.
·
Sunnah Al Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan
sehari-hari Rasulullah sebagai manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan
tidur.
c.
Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang
dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram ialah “pekerjaan yang pasti
mendapat siksaan karena menegerjakannya”. Sedangkna secara terminology ushul
fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana
orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang
yang meninggalkannya karena mentaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan
berzina dalam firman Allah :
![]() |
Artinya :
“Dan janganlah kalian mendekati
zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan
yang buruk.” (QS.Al-Isra;32)
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan
dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi
kehidupan manusia. Halam disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).
Haram dibagi menjadi dua :
·
Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa
hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti
zina, mencuri, shalat tanpa bersuci, mengawini salah satu muhrimnya dengan
mengetahui keharamannya.
·
Haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada
awalnya sitetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan
dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram. Seperti sholat yang memakai
baju gosob, jual beli yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang
dijatuhkan pada saat istri sedang haid).
d.
Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu
yang dibenci”. Dalam istilah ushul fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama
ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan
mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur
dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa
karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerongkongan dan tertelan.
e.
Mubah
Secara bahasa berarti “sesuatu yang
diperbolehkan atau di izinkan”, menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang
diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atai meninggalkannya.
Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan di
khawatirkan tidak dapat lagi hidup bersama, maka boleh (mubah) bagi seorang
istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya,
sesuai dengan QS. Al-Baqarah ; 229). Dan juga termasuk mudah bila syar’I
memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang menunjukkan bahwa
perintah itu berarti mudah. Misalnya, dalam QS. Al-Maidah : 2

“Dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka kamu boleh berburu”.
Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya
Al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam :
1) Mubah
yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada suatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun mengantarkan
seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya seperti shalat dan mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan
berarti dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena
meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
2) Sesuatu
baru dianggap mubah bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila
dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain, mendengarkan music.
3) Sesuatu
yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah
pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang
itu hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat
persyaratan yang menurut esensinya haris bersifat mubah pula, karena untuk
mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang
dilarang.
B.
Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’I terbagi menjadi tiga.
Berdasarkan penelitian, telah ditetapkan bahwa hukum wadh’I adalanya
menjadinkan sesuatu sebagai :
ü Sebab
ü Syarat
ü Mani
1.
Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu yang
bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul
Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu : “sesuatu yang
dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab
sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”. Misalnya, tindakkan perzinahan menjadi
sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan
perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok
kepada pemiliknya, melihat anak bulan ramdhan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia
berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi “Oleh
itu, siapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan ramadhan (atau
mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu… “(al-baqarah;185).
2.
Syarat
Hukum wad’I yang kedua adalah syarat secara
bahasa yaitu, “sesuau yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “ sebagai
tanda”. Sedangkan menurut istilah Ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Abdul
Karim Zaidan syarat adalah “sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang
lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”. Seperti wudhu adalah syarat
bagi shnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu
belum pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan syarat adanya talaq,
jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq tidak akan tejadi.
Para ulama ushul fiqh membagi syarat kepada
dua macam :
a) Syarat
syar’I, yaitu syarat yang dating langsung dari syari’at sendiri. Contoh, semua
syarat yang ditetapkan oleh syar’I dalam perkawinan, jual belu, hibah, dan
wasiat.
b) Syarat
ja’li, yaitu syarat yang dating dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Contoh
yang ditetapkan suamu untuk mejatuhkan talaq kepada istrinya dan ketetapan
majikan untuk memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu
tergantung pada adanya syarat, tidak adanya syarat pasti tidak aka nada talaq
atau merdeka. Bentuk kalimat talaq adalah sebab timbulnya talaq, tetapi jika
telah memenuhi syarat.
3.
Mani’
(Penghalang)
Mani’I adalah sesuatu yang adanya meniadakan
hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah
jelas dan memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang)
yang menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya
dianggap sah bilamana telah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu
mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang (mani’).
Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya
adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi
terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebuah hadist
dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua
macam :
a) Mani’
al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai pengahalang bagi adanya
hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan
wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukan
pada waktu haid.
b) Mani’
as-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi
mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal suatu nisab,
menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong
orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang
itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari suatu nisab, maka dalam kajian
fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zakat pada harta yang
dimiliknya itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah menghilangkan predikat
orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
BAB
III
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami paparkan tentang hukum syar’I, semoga bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan pada khususnya. Dan tentunya makalaini tidak lepas
dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat
kami butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.
KESIMPULAN
1.
Hukum syara’ adalah khitab Allah dan sabda
Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang
berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum
yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
2.
Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3.
Hukum taklifi
adalah hukum syar’I yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh para mukalaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan
dan ditinggalkan. Hukum taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
4.
Hukum wadh’I adalah titah Allah yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai
syarat sesuatu yang lain atau juga sebagai pengahalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’I dibagi
menjadi tiga, yaitu sebab, syarat dan mani’.
Dapatkan Penghasilan Tambahan Dengan Bermain Poker Online di www , SmsQQ , com
BalasHapusKeunggulan dari smsqq adalah
*Permainan 100% Fair Player vs Player - Terbukti!!!
*Proses Depo dan WD hanya 1-3 Menit Jika Bank Tidak Gangguan
*Minimal Deposit Hanya Rp 10.000
*Bonus Setiap Hari Dibagikan
*Bonus Turn Over 0,3% + 0,2%
*Bonus referral 10% + 10%
*Dilayani Customer Service yang Ramah dan Sopan 24 Jam NONSTOP
*Berkerja sama dengan 4 bank lokal antara lain : ( BCA-MANDIRI-BNI-BRI )
Jenis Permainan yang Disediakan ada 8 jenis :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar 66
Untuk Info Lebih Lanjut Dapat menghubungi Kami Di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com
bosku minat daftar langsung aja bosku^^